Esai Toleransi Beragama
Esai Toleransi Beragama
Indonesia
adalah negara kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.508 pulau baik yang sudah
bernama ataupun yang belum. Belasan ribu pulau tersebut pastilah terdiri dari
berbagai macam suku, budaya, agama dan ras yang berbeda. Harus diakui bahwa
semua perbedaan itu adalah Indonesia, Indonesia dengan kebhinekaannya. Perbedaan
yang terlihat kasat mata ini bukanlah suatu hal yang bisa dijadikan alasan
perpecahan atau diskriminasi atas golongan tertentu. Namun harus menjadi
pemersatu bangsa dan sekaligus menjadi identitas bangsa yang tidak dimiliki
oleh negara – negara lain. Menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi bangsa
Indonesia yang merupakan negara berkembang. Namun ditengah adanya perbedaan
tersebut, kita dapat melihat betapa tingginya rasa toleransi yang dimiliki oleh
masyarakat Indonesia.
Indonesia
merupakan negara dengan enam agama resmi dan banyak kepercayaan lokal yang
tersebar di penjuru wilayahnya. Populasi agama terbesar di Indonesia merupakan
muslim dengan jumlah lebih dari 229 juta manusia yang setara dengan 13%
populasi muslim dunia. Keragaman dan ketimpangan jumlah penganut agama ini
seringkali menjadi penyebab konflik agama di Indonesia. Kebebasan
beragama sudah termaktub pada banyak pasal salah satunya Pasal 29 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya. Namun pada implementasinya, fakta yang kontras justru
ditemukan di lapangan. Laporan dari BBC News yang menyebutkan dalam
sepuluh tahun terakhir terdapat setidaknya 200 gereja disegel dan ditolak
warga. Tirto.id, salah satu portal berita daring juga menyebutkan hal serupa.
Dalam publikasinya berjudul Kasus Intoleransi Terus Bersemi Saat Pandemi terdapat banyak praktek intoleransi pada umat
minoritas selama masa pandemi.
Toleransi berasal dari bahasa latin,
“tolerantia” yang berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan
kesabaran. Apabila diambil dari bahasa Inggris “tolerance”, mengandung makna
“sikap jujur dan objektif terhadap orang lain yang berbeda pandangan, tingkah
laku, ras, agama, serta bebas dari prasangka dan fanatis”. Secara umum, istilah
toleransi mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, suka rela, dan kelembutan.
Adapun Unesco mengartikan toleransi sebagai sikap saling menghormati, saling
menerima, saling menghargai di tengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi
dan karakter manusia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diterangkan bahwa
toleransi adalah bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan
kelakuan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri. Dalam
bahasa Arab toleransi sering disebut dengan tasamuh (saling memudahkan, saling
mengizinkan). Tasamuh berasal dari kata samaha yang memiliki makna asal “kehalusan”
atau “kemudahan”. Kata ini juga berarti al-jud (kemuliaan). Kemudian perubahan
katanya yaitu samahah yang diartikan sebagai toleransi, kelapangan dada dan
kedermawanan.
Seperti yang tertera pada sila ke satu Pancasila,
Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan
adalah salah satu faktor penting dalam kehidupan kita, dengan kita menjadikan
Tuhan dalam seluruh area hidup kita,berarti kita bicara taat apa yang mau
Tuhan lakukan pada hidup kita. Dengan mempererat hubungan kita dengan Tuhan
baru kita dapat mempererat hubungan antar agama dan menciptakan toleransi.
Mempererat hubungan dengan antar agama menciptakan perdamaian pada agama, tidak
adanya perpecahan, tidak adanya penisataan agama. Mempererat hubungan antar
agama memang tidak mudah. Mempererat hubungan antar agama berarti menyatukan
seluruh orang -orang tanpa melihat latar belakaang agama mereka. Mempererat
hubungan antar agama berarti siap untuk menerima segala perbedaan yang ada
antara satu dengan yang lainnya.
Jadi, kerukunan beragama adalah keadaan hubungan
antarumat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian dan saling
menghormati dalam pengamalan ajaran agama serta kerjasama dalam kehidupan
bermasyarakat. Eksistensi kerukunan ini sangat penitng, di samping karena
merupakan keniscayaan dalam konteks perlindungan hak asasi manusia (HAM), juga
karena kerukunan ini menjadi prasyarat bagi terwujudnya integrasi nasional, dan
integrasi ini menjadi prasyarat bagi keberhasilan pembangunan nasional.
Kerukunan umat beragama itu
ditentukan oleh dua faktor, yakni sikap dan prilaku umat beragama serta
kebijakan negara/pemerintah yang kondusif bagi kerukunan. Semua agama
mengajarkan kerukunan ini, sehingga agama idealnya berfungsi sebagai faktor
integratif. Dan dalam kenyataannya, hubungan antarpemeluk agama di Indoensia
selama ini sangat harmonis. Hanya saja, di era reformasi, yang notabene
mendukung kebebasan ini, muncul berbagai ekspresi kebebasan, baik dalam bentuk
pikiran, ideologi politik, faham keagamaan, maupun dalam ekspresi hak-hak
asasi. Dalam iklim seperti ini mucul pula ekspresi kelompok yang berfaham
radikal atau intoleran, yang walaupun jumlahnya sangat sedikit tetapi dalam
kasus-kasus tertentu mengatasnamakan kelompok mayoriras.
Adapun kebijakan negara
tentang hubungan antaragama termasuk yang terbaik dan menjadi model di dunia.
Hanya saja, sebagian oknum pemerintah di daerah dengan pertimbangan politik
kadang-kadang mendukung sikap intoleran kelompok tertentu atas nama pemenuhan
aspirasi kelompok mayoritas. Klaim aspirasi kelompok mayoritas ini pun tidak
selalu sesuai kenyataan, karena suatu tindakan intoleran itu seringkali hanya
digerakkan oleh kelompok tertentu dengan mengatasnamakan mayoritas. Meski
demikian, kebijakan Pemda yang cukup arif dan adil, termasuk dalam konteks
menjaga kerukunan umat beragama, jauh lebih banyak dari pada kebijakan yang
dianggap mendukung sikap intoleran ini.
Konflik antar-umat beragama umumnya tidak murni
disebabkan oleh faktor agama, tetapi oleh faktor politik, ekonomi atau lainnya
yang kemudian dikaitkan dengan agama. Sedangkan yang terkait dengan persoalan
agama, di samping karena munculnya sikap keagamaan secara radikal dan intoleran
pada sebagian kecil kelompok agama, juga dipicu oleh persoalan tentang
pendirian rumah ibadah dan penyiaran agama serta tuduhan penodaan agama.
Persoalan pendirian rumah ibadah merupakan faktor yang paling banyak
mempengaruhi terjadinya perselisihan atau sikap intoleransi. Memang tahun 2014
toleransi beragama ini berkembang lebih baik dari pada tahun-tahun sebelumnya,
tetapi masih ada beberapa peristiwa gangguan atau penghentian pembangunan rumah
ibadah yang sudah mendapatkan izin secara sah.
Di antara kasus pendirian
rumah ibadah yang kini belum ada penyelesaian final adalah pendirian gereja GKI
Yasmin di Bogor, pendirian gereja HKBP Filadelfia di Bekasi, dan pendirian
masjid Nur Musafir di Kupang. Sebenarnya perselisihan tentang pendirian rumah
ibadah yang bisa diselesaikan secara arif dan damai jauh lebih banyak
dibandingkan dengan penyelesaian yang berlarut-larut atau yang kemudian menjadi
konflik. Namun, karena persoalan pendirian rumah ibadah ini dikaitkan dengan
perlindungan kebebasan beragama, maka hal ini pun mendapatkan catatan dari
badan-badan HAM dunia.
Sedangkan persoalan konflik
dan ketegangan internal agama, tertama Islam, umumnya dipicu oleh adanya
perbedaan paham keagamaan dalam hal yang sangat mendasar (pokok-pokok
ajaran agama) dan munculnya aliran kepercayaan (cult) yang mengaitkan dirinya
dengan agama Islam, serta penghinaan agama, seperti kasus Ahmadiyah, Jamaah
Salamullah dan Al-Qiyadah al-Islamiyyah. Sampai kini masalah Ahmadiyah belum
selesai sepenuhnya, bahkan di Mataram kini masih ada pengungsi Ahmadiyah yang
ditampung di Asrama Transito Mataram sejak 2006. Di samping itu, kasus
perbedaan yang berkembang menjadi kekerasan adalah kasus yang menimpa penganut
Syi’ah Sampang, yang sejak 2012 sampai kini masih diungsikan di rumah susun
Puspo AgroSidoarjo.
Jika kasus-kasus semacam di
atas terus berlangsung, dikhawatirkan kondisi kerukunan umat beragama ini akan
rusak. Oleh karena itu, penguatan kerukunan dan toleransi itu perlu
terus-menerus dilakukan, teterutama melalui sosialisasi pemahaman keagamaan
yang moderat dan menekankan pentingnya toleransi dan kedamaian dalam kehidupan
masyarakat yang majemuk. Juga, perlu dilakukan upaya-upaya penguatan wawasan
kebangsaan dan integrasi nasional, yang meliputi sosialisasi Pancasila, UUD
1945, NKRI dan Kebhinnekaan. Dan tak kalah pentingnya adalah penguatan
kesadaran dan penegakan hukum, baik bagi aparatur negara, tokoh politik maupun
tokoh agama.
Di samping upaya-upaya
tersebut, perlu dilakukan pula upaya-upaya pencegahan konflik (conflict
prevention) melalui peningkatan dialog antarumat beragama dengan melibatkan
tokoh agama dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Sejalan dengan ini, perlu
antisapasi dini terhadap potensi konflik atau ketegangan itu, sehingga potensi
itu tidak berkembang menjadi konflik nyata dan kekerasan. Hal ini perlu
disertai dengan langkah-langkah penyelesaian perselisihan atau konflik yang
terjadi melalui musyawarah atau mediasi dengan melibatkan FKUB. Sedangkan
pemerintah (Pemda) menfasilitasinya sebagai bagian dari kewajibannya dalam
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
Tentu saja, kasus-kasus
konflik atau perselisihan sekecil apapun harus diselesaikan dengan cepat dan
bijaksana. Namun yang lebih mendesak adalah penyelesaian terhadap kasus-kasus
yang sudah menjadi sorotan dunia internasional tetapi sampai kini belum
diselesaikan dengan baik, seperti persoalan pendirian gereja GKI Yasmin di
Bogor, pendirian gereja HKBP Filadelfia di Bekasi, atau pendirian masjid Nur
Musafir di Kupang. Demikian pula, penyelesaian kasus-kasus konflik internal
agama, terutama pengungsian Ahmadiyah di Mataram dan pengungsian Syi’ah Sampang
di Sidoarjo.
Komentar
Posting Komentar